Harmoni
Pandangan orang Jawa tentang harmoni atau keselarasan hampir sama
dengan pandangan Herakleitos (dalam filsafat alam, Yunani). Bahwa, alam
ini sudah “ada” dalam keadaan yang “selaras atau harmonis”. Ada dunia
sebagai tempat tinggal, ada tumbuh- tumbuhan dan binatang sebagai
“modal” mencari makan dan manusianya tinggal merawatnya saja, serta menjaga agar semuanya berjalan semestinya supaya alam tetap selaras atau harmonis.
Ada oknum yang selalu mengupayakan untuk selalu menjaga dan mengatur
alam semesta ini tetap dalam keadaan selaras adalah adanya kuasa-kuasa
adikodrati. Kalau realitas alam keselarasannya menjadi terganggu oleh
“tingkah” manusia, maka keseluruhan totalitas alam turut terganggu.
Sehingga, orang Jawa mengalami dunianya sebagai tempat dimana
kesejahteraannya tergantung dari apakah ia berhasil untuk menyesuaikan
diri dengan kekuatan-kekuatan yang angker itu. Oleh karena itu, orang
Jawa perlu mengadakan sesajen yang maksudnya agar kuasa-kuasa roh /
adikodrati itu tidak marah dan tetap menyelenggarakan pekerjaannya. Dan
selamatan yang tidak lain dimaksudkan untuk mengungkapkan kepada
hadirin bahwa diantara para tetangga terdapat kerukunan dan
keselarasan; dan dengan demikian keadaan masyarakat dibaharui dan
kekuatan-kekuatan yang berbahaya dinetralisasikan.
Pandangan Jawa mengenai keharmonisan atau keselarasan alam menjadi
penting atau sebagai titik sentral, karena selain susunan alam
merupakan kesatuan total yang dapat dibaca / di”ngerteni” oleh manusia,
maka keseluruhan aspek kehidupan orang Jawa harus selaras dan seiring
dengan gerak alam semesta. Dan dalam buku Magnis Suseno (1991, hal. 82)
dikatakan bahwa “pada hakekatnya orang Jawa tidak membedakan antara
sikap-sikap religius dan bukan religius, dan interaksi-interaksi sosial
sekaligus merupakan sikap terhadap alam, sebagaimana juga sikap
terhadap alam sekaligus mempunyai relevansi sosial.” Selanjutnya
ditambahkan pula bahwa “pandangan dunia bagi orang Jawa bukan suatu
pengertian yang abstrak, melainkan berfungsi sebagai sarana dalam
usahanya untuk berhasil dalam menghadapi masalah kehidupan.” Dalam
rangka ini semua, orang Jawa harus menciptakan suasana ketenangan,
ketentraman, dan keseimbangan batin pada dirinya maupun bagi sesamanya,
menciptakan kerukunan dan sikap hormat, menghindari konflik terbuka.
Rukun
Rukun mempunyai arti”berada dalam keadaan selaras”, “tenang dan
tentram”, “tanpa perselisihan dan pertentangan”, “bersatu dalam maksud
untuk saling membantu”.
Situasi rukun ini harus diciptakan untuk manjaga kelarasan dan
keharmonisan sosial yang berarti keadaan ideal dalam masyarakat tetap
dipertahankan. Denngan demikian, ini menjadi sumber moril bagi mereka,
yang berfungsi sebagai pengontrol nilai dan norma masyarakat. Sedangkan
yang bertugas sebagai pengontrol adalah masyarakat atau lingkungannya
sendiri.
Sikap orang Jawa yang selalu muncul bila sedang berinteraksi dengan
orang atau masyarakat lain yaitu mereka akan selalu bersikap untuk
menghindari konflik secara terbuka atau terang-terangan. Dengan
demikian, dalam hidup orang Jawa dalam upaya menjaga keselarasan
sosial, mereka harus bersikap menyesuaikan diri, bersikap sopan santun,
dan mewujudkan kerja sama, serta bersikap menghormati kepada orang yang
bersikap baik dan lebih tinggi kedudukannya dalam struktur hirarkis
yang menunjukkan orang lain lebih tinggi (kedudukan jabatan, usia)
penting untuk mendapatkan pengakuan sosial dari masyarakat.
Dalam rangka rukun, bisa saja muncul sikap yang demi mementingkan
hubungan atau lancarnya interaksi yang terjadi dan agar kelihatan rukun
orang bersikap ‘ethok-ethok’ (berpura-pura) terhadap sesamanya. Sikap
‘ethok-ethok’ atau ‘kepura-puraan’ hal ini dianggap sebagai cara yang
baik untuk menghadapi keadaan tertentu yang menyusahkan, dan merupakan
suatu seni yang tinggi dan positif; serta di luar keluarga inti orang
tidak akan memperlihatkan perasaan-perasaan yang sebenarnya, terutama
perasaan-perasaan negatif.
Agar tidak terjadi konflik terbuka, selain orang Jawa harus menjaga
melalui sikap-sikap seperti yang telah diuraikan di atas, ada sikap
lain yang dianggap baik (dalam arti untuk mencegah konflik) adalah
‘jothakan’ (sikap tidak saling bertegur sapa). ‘Jothakan’ ini bukan
konflik, walaupun mereka saling mendiamkan karena sesuatu yang telah
terjadi di antara mereka. Justru dengan ‘jothakan’ mereka bermaksud
untuk menghindari konflik, dan ini biasanya hanya bersifat temporair.
Sikap ini diakui oleh masyarakat, bahkan dalam arti tertentu dapat
diterima secara moral.
Malu
Isin dapat diterjemahkan sebagai “malu, enggan, canggung (keki),
salah”. Rasa malu atau “isin” sudah dikembangkan sejak kecil, anak
diajar untuk bersikap malu kepada tetangganya atau kepada masyarakat
lainnya, kalau ada suatu kekeliruan yang patut ditegur. Sehingga anak
yang seringkali ditegur kalau berbuat salah dihadapan orang lain ia
akan langsung menunjukkan sikap malu-malu. Sikap ini “isin” atau malu
dapat muncul dalam setiap situasi sosial, yang terjadi di luar hubungan
keluarga sendiri. Sehingga, orang Jawa dalam hubungannya dengan orang
lain selalu berada dalam keadaan tertekan perasaan “isin” atau malu.
Perasaan “wedi dan sungkan”pun sebenarnya muncul dalam rangka
“isin”. Dalam sistem pendidikan yang diberlakukan pada anaknya, orang
Jawa mendidik anaknya untuk selalu bersikap “wedi” yang maksudnya takut
kepada orang lain. Anak sejak kecil sudah diajar “wedi” terhadap orang
yang harus dihormati. Sikap ini biasanya dikaitkan dengan sikap hormat
terhadap orang yang lebih tua. Sehingga kalau ada sesuatu terjadi
padanya, ia akan merasa “wedi” dan sekaligus “isin” kalau kalau
ketahuan salah.
Karma
Bagi orang Jawa, karma adalah buah perbuatan keinginan leluhurnya
dan buah kelakuan sendiri pada masa lampau dan sekarang. Karma juga
menunjuk pada hukum illahi yang memayungi segala tindak-tanduk manusia.
Kerangka berpikir orang Jawa dalam hal ini selalu berpegang pada pola
pemikiran pembalasan dalam hidup sekarang dari perilaku lampau yang
telah dilakukan. Kalau misalnya ada orang yang mengejek orang cacad,
akan diperingatkan bahwa nanti ia akan “kuwalat” akan sama seperti dia
yang cacad, atau nanti akan kena hukuman dari yang kuasa.
Referensi:
Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa, Jakarta, Gramedia, cet. IV.
Drs. Robert M. Z. Lawang, Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi ANN 111/3SKS/MODUL 1-5, Jakarta, Universitas Terbuka, 1984/1985