Selasa, 24 April 2012

Harmoni, malu dan karma menurut pandangan Jawa

Harmoni

Pandangan orang Jawa tentang harmoni atau keselarasan hampir sama dengan pandangan Herakleitos (dalam filsafat alam, Yunani). Bahwa, alam ini sudah “ada” dalam keadaan yang “selaras atau harmonis”. Ada dunia sebagai tempat tinggal, ada tumbuh- tumbuhan dan binatang sebagai “modal” mencari makan dan manusianya tinggal merawatnya saja, serta menjaga agar semuanya berjalan semestinya supaya alam tetap selaras atau harmonis.
Ada oknum yang selalu mengupayakan untuk selalu menjaga dan mengatur alam semesta ini tetap dalam keadaan selaras adalah adanya kuasa-kuasa adikodrati. Kalau realitas alam keselarasannya menjadi terganggu oleh “tingkah” manusia, maka keseluruhan totalitas alam turut terganggu. Sehingga, orang Jawa mengalami dunianya sebagai tempat dimana kesejahteraannya tergantung dari apakah ia berhasil untuk menyesuaikan diri dengan kekuatan-kekuatan yang angker itu. Oleh karena itu, orang Jawa perlu mengadakan sesajen yang maksudnya agar kuasa-kuasa roh / adikodrati itu tidak marah dan tetap menyelenggarakan pekerjaannya. Dan selamatan yang tidak lain dimaksudkan untuk mengungkapkan kepada hadirin bahwa diantara para tetangga terdapat kerukunan dan keselarasan; dan dengan demikian keadaan masyarakat dibaharui dan kekuatan-kekuatan yang berbahaya dinetralisasikan.
Pandangan Jawa mengenai keharmonisan atau keselarasan alam menjadi penting atau sebagai titik sentral, karena selain susunan alam merupakan kesatuan total yang dapat dibaca / di”ngerteni” oleh manusia, maka keseluruhan aspek kehidupan orang Jawa harus selaras dan seiring dengan gerak alam semesta. Dan dalam buku Magnis Suseno (1991, hal. 82) dikatakan bahwa “pada hakekatnya orang Jawa tidak membedakan antara sikap-sikap religius dan bukan religius, dan interaksi-interaksi sosial sekaligus merupakan sikap terhadap alam, sebagaimana juga sikap terhadap alam sekaligus mempunyai relevansi sosial.” Selanjutnya ditambahkan pula bahwa “pandangan dunia bagi orang Jawa bukan suatu pengertian yang abstrak, melainkan berfungsi sebagai sarana dalam usahanya untuk berhasil dalam menghadapi masalah kehidupan.” Dalam rangka ini semua, orang Jawa harus menciptakan suasana ketenangan, ketentraman, dan keseimbangan batin pada dirinya maupun bagi sesamanya, menciptakan kerukunan dan sikap hormat, menghindari konflik terbuka.

Rukun

Rukun mempunyai arti”berada dalam keadaan selaras”, “tenang dan tentram”, “tanpa perselisihan dan pertentangan”, “bersatu dalam maksud untuk saling membantu”.
Situasi rukun ini harus diciptakan untuk manjaga kelarasan dan keharmonisan sosial yang berarti keadaan ideal dalam masyarakat tetap dipertahankan. Denngan demikian, ini menjadi sumber moril bagi mereka, yang berfungsi sebagai pengontrol nilai dan norma masyarakat. Sedangkan yang bertugas sebagai pengontrol adalah masyarakat atau lingkungannya sendiri.
Sikap orang Jawa yang selalu muncul bila sedang berinteraksi dengan orang atau masyarakat lain yaitu mereka akan selalu bersikap untuk menghindari konflik secara terbuka atau terang-terangan. Dengan demikian, dalam hidup orang Jawa dalam upaya menjaga keselarasan sosial, mereka harus bersikap menyesuaikan diri, bersikap sopan santun, dan mewujudkan kerja sama, serta bersikap menghormati kepada orang yang bersikap baik dan lebih tinggi kedudukannya dalam struktur hirarkis yang menunjukkan orang lain lebih tinggi (kedudukan jabatan, usia) penting untuk mendapatkan pengakuan sosial dari masyarakat.
Dalam rangka rukun, bisa saja muncul sikap yang demi mementingkan hubungan atau lancarnya interaksi yang terjadi dan agar kelihatan rukun orang bersikap ‘ethok-ethok’ (berpura-pura) terhadap sesamanya. Sikap ‘ethok-ethok’ atau ‘kepura-puraan’ hal ini dianggap sebagai cara yang baik untuk menghadapi keadaan tertentu yang menyusahkan, dan merupakan suatu seni yang tinggi dan positif; serta di luar keluarga inti orang tidak akan memperlihatkan perasaan-perasaan yang sebenarnya, terutama perasaan-perasaan negatif.
Agar tidak terjadi konflik terbuka, selain orang Jawa harus menjaga melalui sikap-sikap seperti yang telah diuraikan di atas, ada sikap lain yang dianggap baik (dalam arti untuk mencegah konflik) adalah ‘jothakan’ (sikap tidak saling bertegur sapa). ‘Jothakan’ ini bukan konflik, walaupun mereka saling mendiamkan karena sesuatu yang telah terjadi di antara mereka. Justru dengan ‘jothakan’ mereka bermaksud untuk menghindari konflik, dan ini biasanya hanya bersifat temporair. Sikap ini diakui oleh masyarakat, bahkan dalam arti tertentu dapat diterima secara moral.

Malu

Isin dapat diterjemahkan sebagai “malu, enggan, canggung (keki), salah”. Rasa malu atau “isin” sudah dikembangkan sejak kecil, anak diajar untuk bersikap malu kepada tetangganya atau kepada masyarakat lainnya, kalau ada suatu kekeliruan yang patut ditegur. Sehingga anak yang seringkali ditegur kalau berbuat salah dihadapan orang lain ia akan langsung menunjukkan sikap malu-malu. Sikap ini “isin” atau malu dapat muncul dalam setiap situasi sosial, yang terjadi di luar hubungan keluarga sendiri. Sehingga, orang Jawa dalam hubungannya dengan orang lain selalu berada dalam keadaan tertekan perasaan “isin” atau malu.
Perasaan “wedi dan sungkan”pun sebenarnya muncul dalam rangka “isin”. Dalam sistem pendidikan yang diberlakukan pada anaknya, orang Jawa mendidik anaknya untuk selalu bersikap “wedi” yang maksudnya takut kepada orang lain. Anak sejak kecil sudah diajar “wedi” terhadap orang yang harus dihormati. Sikap ini biasanya dikaitkan dengan sikap hormat terhadap orang yang lebih tua. Sehingga kalau ada sesuatu terjadi padanya, ia akan merasa “wedi” dan sekaligus “isin” kalau kalau ketahuan salah.

Karma

Bagi orang Jawa, karma adalah buah perbuatan keinginan leluhurnya dan buah kelakuan sendiri pada masa lampau dan sekarang. Karma juga menunjuk pada hukum illahi yang memayungi segala tindak-tanduk manusia. Kerangka berpikir orang Jawa dalam hal ini selalu berpegang pada pola pemikiran pembalasan dalam hidup sekarang dari perilaku lampau yang telah dilakukan. Kalau misalnya ada orang yang mengejek orang cacad, akan diperingatkan bahwa nanti ia akan “kuwalat” akan sama seperti dia yang cacad, atau nanti akan kena hukuman dari yang kuasa.

Referensi:
Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa, Jakarta, Gramedia, cet. IV.
Drs. Robert M. Z. Lawang, Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi ANN 111/3SKS/MODUL 1-5, Jakarta, Universitas Terbuka, 1984/1985

Tidak ada komentar:

Posting Komentar