Minggu, 29 Juli 2012

Faktor Lunturnya Budaya Jawa


 Faktor Penyebab Lunturnya Budaya Jawa

1.       Globalisasi

Menurut seorang ahli, globalisasi merujuk pada naiknya perubahan kegiatan dan proses kemanusiaan yang terjadi selama dua puluh lima tahun terakhir abad ke-dua puluh. Globalisasi juga menandakan kenaikan organisasi-organisasi global dalam beraneka ragam bidang, sekaligus juga negara itu ikut andil pula dalam menghilangkan pengaruh-pengaruh asing. Globalisasi merupakan proses mempercepat dan membentuk kecepatan skala mobilitas serta aliran orang-orang, barang-barang, jasa, modal, pengetahuan dan ide-ide. Globalisasi dibantu oleh kemajuan teknologi menghasilkan batasan waktu dan tempat, serta penyebaran hidup yang modern, khususnya bagi orang yang berasal dari negara-negara Barat. Dorongan globalisasi terjadi baik dari kekuatan militer dan kekuasaan administratif maupun kekuasaan ideologi dan kebudayaan halus.

Istilah globalisasi ini dapat merujuk satu proses, konsep atau organisasi dimanapun yang memiliki potensi atau keinginan berada pada skala global. Arti yang sejati dari globalisasi dapat diinterpretasi mengenai apapun yang ingin mencari identitasnya pada skala global. Oleh karena itu, konsep-konsep seperti pasar global, undang-undang global dan kebudayaan global timbul.
Pada tahun 1960-an, seorang Amerika bernama Marshall McLuhan pertama kali menciptakan istilah baru ‘desa global’ (global village). Yang merujuk titik waktu di masa depan dimana segala masyarakat dan bangsa di dunia akan disatukan melalui partisipasi kolektif dalam urusan-urusan dunia. Sehingga, sejak zaman itu dunia telah menyaksikan kemajuan teknologi yang luar biasa yang telah membantu realisasi istilah desa global ini. Walaupun pada tingkat akar rumput (grassroots) desa global ini masih belum jadi kenyataan hingga sekarang di banyak negara-negara berkembang yang ditinggalkan proses global ini.
Globalisasi ekonomik menyebabkan dampak paling besar terhadap kebudayaan. Karena mampu berdampak dan memengaruhi cara hidup orang-orang melalui kontrol pasar (market control), gejolak harga, kompetisi dan lain lain. Dari pandangan psikologi, tak ada masyarakat di dunia yang akan secara mudah melepaskan diri dari apa yang membuat mereka jadi ‘mereka’. Apabila melihat contoh-contoh dari zaman dulu, orang-orang akan berkelahi atau berperang untuk melestarikan identitasnya. Meskipun begitu, ada beberapa aspek kebudayaan yang tak dapat diabaikan. Seperti daya tarik kebudayaan populer yang sangat menarik bagi cukup banyak orang sekarang ini dan memiliki potensi untuk mengganggu orang-orang dari aspek-aspek kebudayaan mereka yang tradisional. Kaum muda pada khususnya adalah kelompok yang mudah dipengaruhi citra dan pesona yang disediakan kebudayaan populer. Hal ini merupakan contoh, dimana beberapa pengaruh dapat dicampur karena bukan saja globalisasi yang berdampak pada kebudayaan, tetapi juga media massa yang dipakai untuk menyampaikan kebudayaan populer ini.Untuk masyarakat jawa, globalisasi tidak begitu berdampak besar pada bidang ekonomi karena kebanyakan barang-barang dijual dan dibeli di pasar-pasar lokal, khususnya barang-barang pertanian, walaupun di kota modern dampaknya tak dapat mutlak diabaikan. Dari pendapat masyarakat, khususnya yang memiliki upah rendah, globalisasi adalah sesuatu yang mampu berdampak besar pada cara hidup mereka. Ada yang berfikir globalisasi adalah kemajuan zaman, namun ada yang mengatakan globalisasi tak bisa dihindari sehingga agak mengkhawatirkan untuk masa depan mereka. Bagi beberapa responden, globalisasi erat terkait dengan penyebaran teknologi informasi dan internet yang pasti akan berdampak pada kebudayaan.

Ada beberapa explanasi yang menjelaskan mengapa orang-orang ingin menyampaikan pendapat-pendapatnya akan globalisasi dalam konteks negatif. Pertama, mereka merasa takut salah atau kurang mengerti pokok globalisasi dan bagaimana berdampak pada masyarakat-masyarakat. Kedua, karena globalisasi sering kali dipandang selaras dengan modernisasi, turisme dan media massa. Sehingga globalisasi dipandang sebagai pengaruh terbesar yang berdampak pada seluruh aspek kehidupan mereka. Ketiga, ketakutan ini mungkin berasal dari sikap tebaklah dimana orang-orang memandang globalisasi sebagai sesuatu yang begitu besar dan tak dapat dihindari sehingga memunculkan perasaaan kesal dan gusar.
Globalisasi merupakan penyebab lunturnya kebudayaan Jawa yang memiliki potensi membawa manfaat atau kerusakan bagi kebudayaan dimanapun di dunia ini, terutama bagi kebudayaan Jawa. Namun, di dalam istilah globalisasi ini, jika dilihat dari perspektif kebudayaan tidak membawa ancaman besar. Pada intinya, globalisasi itu satu istilah yang dipakai untuk menjelaskan arah dan tujuan pengaruh-pengaruh lain yang berada di dunia seperti modernisasi dan media massa yang menyebabkan kecanggihan komunikasi dan transportasi. Oleh karena itu, globalisasi pertama kali dikenal sebagai perkenalan untuk pengaruh-pengaruh lain yang berada antara masyarakat Jawa yang memiliki ciri-ciri lebih spesifik dan lebih mudah untuk mengidentifikasikan akibat-akibat yang mungkin pada kebudayaan.

Lunturnya Nilai Budaya

Lunturnya Nilai Budaya

Nilai-nilai budaya lokal dewasa ini kian luntur, bahkan menghilang di masyarakat. Kecenderungan ini hampir terlihat dalam pelbagai peri-kehidupan, baik sosial, politik, maupun hukum. Diperlukan buda yawan tangguh sebagai katalisator perubahan zaman.

Hal itu mengemuka di dalam Diskusi bertajuk "Budayawan di Tengah Arus Zaman", Senin (2/11) di Bale Rumawat, Universitas Padjadjaran. Diskusi untuk mengenang penyair WS Rendra ini dihadiri pem bicara Rektor Unpad Ganjar Kurnia, budayawan Acil Bimbo, dan dosen Unpad Yesmil Anwar serta Miranda Risang Ayu.

Secara gamblang, Acil Bimbo mengatakan, masyarakat kita saat ini tengah mengalami kerusakan dari sisi budaya. Yang lebih dominan muncul saat ini adalah karakter egois, individualis, konsumtif, kehilangan nasionalisme, krisis kreatif dalam berseni. Nilai-nilai budaya makin tergeser, ucap pendiri Bandung Spirit ini.

Ia pun khawatir, anekdot yang menyatakan, Jika ingin merusak bangsa, hancurkan saja budayanya kini betul-betul tengah terjadi. 

"Dulu, Bandung dikenal sebagai kota budaya, kota intelektual dan kota perjuangan. Hari ini, itu semua telah berubah. Yang terlihat hanya Bandung kota outlet," ucapnya mencontohkan lebih dominannya faktor ekonomi daripada unsur budaya saat ini.

Menurutnya, lunturnya budaya secara tidak langsung dipengaruhi oleh perilaku televisi kita. Budaya di TV mendapatkan porsi yang sangat minimal dengan alasan rendahnya rating. "Dewasa ini, lebih berharga gosip dan sinetron ketimbang tontonan budaya," ucapnya.

Lebih parah lagi, lunturnya nilai-nilai budaya terjadi pula di kehidupan hukum. "Sekarang, tolong tunjuk tangan, apakah ada yang hadir di sini tidak normal, memproses SIM tidak dengan cara nembak? Inilah ironi budaya hukum kita. Yang tidak nembak, justru dianggap tidak normal," ucapnya.

Budaya kesadaran hukum masyarakat, ucap dosen Fakultas Hukum Unpad ini, kini berada di titik terendah, kalau tidak bisa dikatakan sudah mati. Para pelanggar ironisnya justru para pembuat hukum. "Budaya kita tidak jalan karena nuansa politiknya lebih kuat," ucapnya.

Mercu suar

Menurutnya, masyarakat Indonesia saat ini membutuhkan sosok seperti Soekarno yang bisa menjadi mercu suar bidang hukum. Budayawan, menurutnya, bisa menjadi layaknya oksigen yang vital di dalam tubuh. "Salah satu budayawan besar yang patut kita tiru adalah Rendra," tutur Acil Bimbo.

Untuk bisa menjadi panutan masyarakat, Ganjar Kurnia mengatakan, budayawan dan seniman dituntut lebih aktif di masyarakat. Tidak lagi asyik hidup dengan dunianya sendiri. Perguruan tinggi seperti Unpad bisa menjadi lembaga ideal yang mengawal proses perubahan di masyarakat.

Tidak ketinggalan, Miranda Ayu juga ikut menekankan arti pentingnya budayawan dalam kehidupan hukum masyarakat. "Masyarakat kita membutuhkan orang yang berkarakter yang bisa dijadikan panutan. Budayawan adalah orang yang tepat karena mereka peka dengan nilai-nilai. Mereka bukan hanya sebagai pemberi cahaya, melainkan juga memberi alternatif-alternatif pemecahan suatu persoalan," tuturnya.

Dalam acara ini, Acil Bimbo sempat menyanyikan Lagu Jual Beli yang liriknya diambil dari puisi Taufiq Ismail. ..."Semua telah terjual, semua telah tergadai. Masih ada satu barangkali , yaitu harga diri dan kehormatan. Tetapi, ketika dicari, tidak ada lagi, tidak ada lagi."