Senin, 20 Mei 2013

FALSAFAH HIDUP ORANG JAWA



FALSAFAH HIDUP ORANG JAWA

Dalam berfilosofi, orang Jawa seringkali menggunakan unen-unen  (kata-kata ungkapan) untuk menata hidup manusia. Makna dari ungkapan-ungkapan Jawa ini seringkali tidak dipahami oleh sebagian besar keturunan etnis Jawa di era modern ini atau boleh dikatakan banyak orang jawa yang kehilangan kepribadian aslinya, mungkin karena pengaruh kebudayaan dari luar negeri.sehingga orang jawa menjadi ikut - ikutan memakai kebudayaan dari luar dan merasa ketinggalan jaman jika tidak mengikuti trend dari luar negeri tersebut. Maka tidak salah, jika muncul sebutan, "Wong Jowo sing ora njawani" atau “wong jowo ilang jawane”.
Berbeda lagi dengan orang jawa yang masih memegang falsafah hidup orang jawa (njawani) cenderung selalu berhati hati dalam bertindak. Karena mereka tidak ingin menyakiti maupun merugikan orang lain malah ingin membuat bahagia orang lain, karena dengan membuat bahagia orang lain berarti dia membuat bahagia dirinya sendiri.
Berikut 10 dari sekian banyak falsafah yang menjadi pedoman hidup orang Jawa.

1. Urip Iku Urup
Hidup itu Nyala, Hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain disekitar kita, semakin besar manfaat yang bisa kita berikan tentu akan lebih baik.

2. Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara
Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak.

3. Sura Dira Jaya Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti
segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar.

FALSAFAH KEJAWEN



FALSAFAH KEJAWEN

Pewarisan kawruh Kejawen atau falsafah Jawa dari generasi ke generasi berikutnya pada umumnya tidak disertai bahasa yang rasional dan mudah dipahami. Maka, sebagai akibatnya, kawruh Kejawen di masa kini banyak yang tidak dimengerti oleh orang Jawa sendiri. Bahkan kemudian banyak yang menganggap kawruh Kejawen sebagai klenik. Anggapan Kejawen sebagai tahayul atau klenik tersebut sudah pasti tidak nyaman dirasakan bagi kebanyakan orang Jawa. Oleh karena itulah, diperlukan penjelasan-penjelasan yang masuk akal tentang Kejawen guna menepis anggapan minor tersebut.
Untuk itulah, diperlukan sebuah usaha penjelasan sekaligus upaya menggugah kesadaran Jawa untuk kembali memiliki kedaulatan spiritual hingga kembali berjaya dalam peradaban umat manusia. Saatnya Jawa menyumbangkan cita-cita peradaban umat manusia yang ayem tentrem kerta raharja.
Jelas bahwa kawruh Kejawen adalah falsafah hidup orang Jawa. Merupakan sebuah kristalisasi pengalaman hidup orang Jawa sejak zaman prasejarah hingga zaman globalisasi saat ini. Sebagian besar merupakan hasil interaksi dan observasi orang Jawa dengan alam semesta di Pulau Jawa. Sudah barang tentu ditambah hasil interaksi dengan falsafah dan kebudayaan bangsa-bangsa lain yang berdatangan ke Jawa sejak ratusan tahun lalu.
Dikarenakan sifat alam tanah Jawa vulkanis subur, warga masyarakat semenjak dahulu hidup bercocok tanam. Cara hidup agraris menjadi nuansa falsafah dan kebudayaan orang Jawa selalu selaras dengan suasana agraris yang mengutamakan mencapai kondisi masyarakat yang laras, ayem tentrem, dan rukun. Dengan demikian, tumbuh kembangnya naluri nalar dan rasa pangrasa orang Jawa selalu memuat tujuan dan upaya mencapai situasi dan kondisi masyarakat yang laras ayem tentrem kerta raharja dan rukun. Karena memiliki dasar tujuan yang seperti itu, maka menjadikan orang Jawa memiliki watak lower dan bisa menerima siapa saja sebagai saudara.
Karena memiliki toleransi yang kuat, orang Jawa bisa menerima dengan baik masuknya falsafah dan kebudayaan bangsa lain. Selanjutnya malah bisa membaur dengan rukun. Konon orang Jawa pandai mensinergikan falsafah dan kebudayaan aslinya dengan semua falsafah dan kebudayaan lain yang diterima. Kejawen merupakan tuntunan atau ajaran hidup yang di dalamnya termasuk konsep kebertuhanan orang Jawa. Maka Kejawen juga mencakup masalah hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan alam semesta seisinya yang khas orang Jawa. Sedemikian rumit dan luas cakupan Kejawen sehingga pada masa kini masyarakat Jawa sendiri banyak yang tidak memahami Kejawen itu sendiri. Bahwa teologi, mitologi, kepercayaan, tradisi, dan adat Jawa adalah masuk akal sering diabaikan, dianggap yang tidak-tidak. Oleh karena itulah, perlu pemahaman agar ada saling pengertian antar komponen bangsa.
Apapun anggapan orang tentang Kejawen, kenyataannya sejauh ini Kejawen sudah berhasil mengampu perjalanan masyarakat Jawa sejak ribuan tahun yang lalu hingga kini. Maka Kejawen pasti memiliki sisi positif. Buktinya Jawa merupakan salah satu bagian bumi yang padat penduduknya. Posisi Jawa untuk Indonesia sangat penting. Pulau Jawa yang luasnya cuma 6 persen luas daratan Indonesia, namun menampung 60 persen penduduk Indonesia. Dengan demikian, jelas bisa dibuktikan bahwa situasi dan kondisi di Jawa sangat nyaman bagi umat manusia untuk berkembang biak dan bermukim.
Kenyamanan itu salah satu penyebabnya adalah sistem kemasyarakatan Jawa yang beradab serta tidak senang konflik. Sistem kemasyarakatan sudah pasti terbangun oleh adanya falsafah hidup masyarakat yang tidak lain kawruh Kejawen. Begitu rupa beradab dan berbudayanya Jawa sehingga di pulau ini ada peninggalan tempat melaksanakan ritual agama seperti Borobudur yang megah dan Candi Prambanan yang anggun. Indah dan populis

Kamis, 16 Mei 2013

Filosofi dan Makna Wayang

FILOSOFI MAKNA
WAYANG, SASTRA DAN NEGARA*)
Oleh: Tarsoen Waryono**)
Abstrak
Seni pewayangan sebagai salah satu seni budaya bangasa yang adiluhung, dimasa keemasannya media ini menjadi corong untuk menginformasikan dan mensosialisasikan banyak hal yang berhubungan dengan masalah tata laku kehidupan yang terjadi pada eranya masing-masing. Pepatah bahwa kuncaraning bangsa gumantung ana kaluhuring budaya, kini memiliki makna starategis karena budaya mencerminkan ”identitas dan jatidiri bangsa”, Jadi sangatlah tepat bahwa seni budaya wayang kulit yang merupakan salah satu unsur budaya bangsa Indonesia, telah diakui oleh UNESCO sebagai ”Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity”.
Pendahuluan
Berbagai kisah kolosal (lakon) dalam dunia pewayangan seperti Ramayana, Mahabarata, dan Baratayudha adalah sebuah karya besar yang menajubkan dari seseorang pujangga. Pertama kalinya kisah kolosal tersebut dituliskan oleh pujangga India, dan secara berangsur-angsur diteruskan oleh pujangga-pujangga Jawa yang menuliskannya kembali dalam versi Jawa, seperti yang dilakukan oleh Mpu Kanwa, Mpu Prapanca, Mpu Sedah dan Mpu Panuluh.
Secara sekilas kisah kehidupan dunia wayang yang seperti juga dunia manusia. Selain bertutur tentang kehidupan dari generasi ke generasi dengan ratusan tokoh dan karakternya, juga merupakan tempat berinteraksinya beberapa ras atau bangsa. Ras dan atau bangsa dimaksud antara lain seperti bangsa dewa, bangsa kesatria, bangsa ular, bangsa kera, bangsa samudra, bangsa raksasa, bangsa gandarwo, bangsa banaspati, yang kesemuanya hidup dalam satu dunia, yaitu dunia pewayangan.
Mencermati dunia pewayangan, apabila ditelaah secara mendalam terhadap masing-masing tokoh berdasarkan karakternya, dapat disarikan bahwa makna dalam dunia pewayangan memberikan kisah tentang perilaku yang memiliki karakter kebaikan (keteladanan, kejujuran, dan pengorbanan), maupun karakter keburukan (kemarahan, kecongkakan, dedam dan kekecewaan). Oleh sebab itu para pencinta wayang kulit selalu bercermin terhadap hal-ikwal kebaikan dan keburukan, hingga munculah kemawasan diri dalam sanubarinya.
Dalam makalah ini penulis mencoba untuk menelaah filosofi makna wayang, sastra dan bela negara dalam dunia pewayangan.
Wayang dan Maknanya
filosofi (filsafat) wayang, sastra dan negara secara umum sering diartikan sebagai pemahaman makna dunia pewayangan yang sangat mendalam, serta memiliki latar belakang realitas arti hidup dan kehidupan dalam dunia pewayangan. Filsafat dunia pewayangan dapat ditemukan di 3 lapisan yaitu: (a) ajaran, (b) sosok dan karakter tokoh, serta (c) keyakinan dan pandangan-pandangannya.
*). Saresehan Budaya Wayang Kulit, 8 Agustus 2008. KBRI Berlin Jerman.
**). Kominitas Wayang Universitas Indonesia (KWUI) dan Staf Pengajar Departemen Geografi FMIPA-UI.
Ajaran-ajaran dan atau wejangan merupakan tatanan khas jawa yang spesifik untuk menyampaikan amanah dan petuah yang sekaligus memuat kebijaksanaan eksistensi manusia. Karakter dan kekuatan sosok dalam dunia pewayangan cukup beragam seperti Pandawa, Kurawa, Pancawati dan Ngalengkadireja. Demikian halnya dengan peran ponokawan seperti Semar dan atau Togog. Berbeda halnya dengan pemahaman makna keyakinan dan pandangan dalam dunia pewayangan yang pada akhirnya diperolehnya istilah ”becik ketitik ala ketara; sapa gawe bakal nganggo ”.
Wayang diartikan sebagai bayang (bayangan), sehingga memiliki dua makna yaitu: (a) bayangan yang ditonton (dilihat dari belakang layar), dan (b) melihat bayangan perilaku kehidupan manusia yang memberikan pemahaman antara perilaku yang baik dan buruk. Kedua perilaku tersebut secara fisik (bentuk dan norma wayang) juga terlihat secara jelas. Mengapa muka wayang ada yang berwarna hitam, merah, dan atau hijau keungguan. Muka wayang berwarna hitam menunjukkan seorang kesatria yang memiliki kemantapan diri sebagai panutan (kesatria), berbeda dengan muka wayang berwarna merah menunjukkan seorang yang memiliki panutan sebagai punggawa atau manggala. Selain muka wayang, ciri spesifik wayang juga ditandai oleh lengan wayang. Ada wayang yang lengannya (tangan) dua (normal), ada wayang dengan dua tangan, akan tetapi satu satu tangannya masuk ke dalam saku (bala buta), dan seterusnya dan seterusnya, yang mencirikan makna yang berbeda.
Secara fisik dunia pewayangan dilengkapi dengan layar (kelir) yang diibaratkan sebagai ruang (atara bumi dan langit), batang pisang sebagai bumi (tanah), dan lampu sebagai sinar matahari. Dalam dunia pewayangan pemrakarsanya disebut ”Ki Dalang”, walaupun umurnya masih remaja, sedangkan penata dan penabuh gamelan (musik) disebut niaga. Ki dalang memiliki makna seseorang yang mampu ngudal (telaah) piwulang (keilmuan) , yaitu mengungkap pengetahuan, kisah-kisah dalam andegan lakon (ceritera) wayang.
Sastra Dalam Pewayangan
Pemahaman makna sastra dalam dunia pewayangan pada dasarnya diawali dari penelusuran kaslian asal-usul ceritera wayang, dan proses penyebarannya. Asal-usul ceritera wayang telah diakuai berasal dari India, dan ditulis dalam bahasa sansekerta. Proses adaptasi penyebaran di Indonesia terutama di P. Jawa, naskah-naskah kebrahmanaan, disampaikan oleh para Brahmana , demikian halnya naskah-naskah disampaian oleh Kesatria , hanya menyampaikan hal-hal yang erat kaitannya dengan dunia perang.
Pada saat awal budaya wayang diimplementasikan masih mendekati pakem, karena hanya menerima dan melakukan. Namun demikian pada tahap-tahap berikutnya mulai mengalami perubahan-perubahan, dimana kisah-kisah wayang dapat digunakan sebagai alat untuk menganalisis situasi kekinian. Bagi para politikus, tokoh wayang diidentikan dengan tokohnya, sebagai alat propaganda. Bahkan ketika meng-islam -kan Jawa, Sunan Kudus menggunakan media pementasan wayang.
Dalam dunia sastra moderen Indonesia, perubahan-perubahan kisah wayang banyak dijumpai seperti yang ditulis oleh Sindhu Nata, Herman Pratikto, Seno Gumira Adjidarma, Danarto, Putu Wijaya (wayang Bali), Hermawan Aksan, dan Pitoyo Amrih. Inovasi perubahan dalam sastra dunia pewayangan adalah ceritera karangan seperti Antasena (anak Bima dengan Dewi Urang Ayu) yang pakem aslinya tidak ada, akan tetapi menjadi cukup menarik, karena mengungak ceritera bangsa samudera.
Perubahan secara spasial yang terjadi di Jawa, dikenalnya 3 gagrag (gaya) karena inovasi kedaerahan. Gagrag Mataraman, tumbuh dan berkembang di daerah Yogjakarta, gagrag Solo mendominansi di daerah Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur, sedangkan gagrag Banyumas, mendominansi di Jawa tengah bagian barat. Perbedaan gagrag tersebut dicirikan oleh spesifik implementasinya. Matraman dan Solo memang menunjukkan perbedaan yang cukup mendasar, sedangkan gagrag Banyumasan lebih mengadopsi dari dua kubu yang berbeda, dengan dibangunnya kreasi-kreasi baru.
Tumbuh berkembangnya waktu perubahan mendasar hingga saat sekarang telah merambah terhadap bentuk pakeliran, gaya campuran yang dipelopori oleh Ki Nartosabdo (Alm) sejak dekade tahun 1970-an. Pengaruh gaya campuran dalam dunia pewayangan, kini menjadi sulit bahkan langka untuk mendapatkan dalang sejati, dan yang melimpah adalah dalang wiguna yang mementingkan segi keramaian dan finansial.
Sebagaimana kisah-kisah di dalam Mitologi Yunani, kisah-kisah yang ada di dalam dunia pewayangan seakan tak habis-habisnya untuk diberi makna baru. Disana tersimpan