Kamis, 16 Mei 2013

Filosofi dan Makna Wayang

FILOSOFI MAKNA
WAYANG, SASTRA DAN NEGARA*)
Oleh: Tarsoen Waryono**)
Abstrak
Seni pewayangan sebagai salah satu seni budaya bangasa yang adiluhung, dimasa keemasannya media ini menjadi corong untuk menginformasikan dan mensosialisasikan banyak hal yang berhubungan dengan masalah tata laku kehidupan yang terjadi pada eranya masing-masing. Pepatah bahwa kuncaraning bangsa gumantung ana kaluhuring budaya, kini memiliki makna starategis karena budaya mencerminkan ”identitas dan jatidiri bangsa”, Jadi sangatlah tepat bahwa seni budaya wayang kulit yang merupakan salah satu unsur budaya bangsa Indonesia, telah diakui oleh UNESCO sebagai ”Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity”.
Pendahuluan
Berbagai kisah kolosal (lakon) dalam dunia pewayangan seperti Ramayana, Mahabarata, dan Baratayudha adalah sebuah karya besar yang menajubkan dari seseorang pujangga. Pertama kalinya kisah kolosal tersebut dituliskan oleh pujangga India, dan secara berangsur-angsur diteruskan oleh pujangga-pujangga Jawa yang menuliskannya kembali dalam versi Jawa, seperti yang dilakukan oleh Mpu Kanwa, Mpu Prapanca, Mpu Sedah dan Mpu Panuluh.
Secara sekilas kisah kehidupan dunia wayang yang seperti juga dunia manusia. Selain bertutur tentang kehidupan dari generasi ke generasi dengan ratusan tokoh dan karakternya, juga merupakan tempat berinteraksinya beberapa ras atau bangsa. Ras dan atau bangsa dimaksud antara lain seperti bangsa dewa, bangsa kesatria, bangsa ular, bangsa kera, bangsa samudra, bangsa raksasa, bangsa gandarwo, bangsa banaspati, yang kesemuanya hidup dalam satu dunia, yaitu dunia pewayangan.
Mencermati dunia pewayangan, apabila ditelaah secara mendalam terhadap masing-masing tokoh berdasarkan karakternya, dapat disarikan bahwa makna dalam dunia pewayangan memberikan kisah tentang perilaku yang memiliki karakter kebaikan (keteladanan, kejujuran, dan pengorbanan), maupun karakter keburukan (kemarahan, kecongkakan, dedam dan kekecewaan). Oleh sebab itu para pencinta wayang kulit selalu bercermin terhadap hal-ikwal kebaikan dan keburukan, hingga munculah kemawasan diri dalam sanubarinya.
Dalam makalah ini penulis mencoba untuk menelaah filosofi makna wayang, sastra dan bela negara dalam dunia pewayangan.
Wayang dan Maknanya
filosofi (filsafat) wayang, sastra dan negara secara umum sering diartikan sebagai pemahaman makna dunia pewayangan yang sangat mendalam, serta memiliki latar belakang realitas arti hidup dan kehidupan dalam dunia pewayangan. Filsafat dunia pewayangan dapat ditemukan di 3 lapisan yaitu: (a) ajaran, (b) sosok dan karakter tokoh, serta (c) keyakinan dan pandangan-pandangannya.
*). Saresehan Budaya Wayang Kulit, 8 Agustus 2008. KBRI Berlin Jerman.
**). Kominitas Wayang Universitas Indonesia (KWUI) dan Staf Pengajar Departemen Geografi FMIPA-UI.
Ajaran-ajaran dan atau wejangan merupakan tatanan khas jawa yang spesifik untuk menyampaikan amanah dan petuah yang sekaligus memuat kebijaksanaan eksistensi manusia. Karakter dan kekuatan sosok dalam dunia pewayangan cukup beragam seperti Pandawa, Kurawa, Pancawati dan Ngalengkadireja. Demikian halnya dengan peran ponokawan seperti Semar dan atau Togog. Berbeda halnya dengan pemahaman makna keyakinan dan pandangan dalam dunia pewayangan yang pada akhirnya diperolehnya istilah ”becik ketitik ala ketara; sapa gawe bakal nganggo ”.
Wayang diartikan sebagai bayang (bayangan), sehingga memiliki dua makna yaitu: (a) bayangan yang ditonton (dilihat dari belakang layar), dan (b) melihat bayangan perilaku kehidupan manusia yang memberikan pemahaman antara perilaku yang baik dan buruk. Kedua perilaku tersebut secara fisik (bentuk dan norma wayang) juga terlihat secara jelas. Mengapa muka wayang ada yang berwarna hitam, merah, dan atau hijau keungguan. Muka wayang berwarna hitam menunjukkan seorang kesatria yang memiliki kemantapan diri sebagai panutan (kesatria), berbeda dengan muka wayang berwarna merah menunjukkan seorang yang memiliki panutan sebagai punggawa atau manggala. Selain muka wayang, ciri spesifik wayang juga ditandai oleh lengan wayang. Ada wayang yang lengannya (tangan) dua (normal), ada wayang dengan dua tangan, akan tetapi satu satu tangannya masuk ke dalam saku (bala buta), dan seterusnya dan seterusnya, yang mencirikan makna yang berbeda.
Secara fisik dunia pewayangan dilengkapi dengan layar (kelir) yang diibaratkan sebagai ruang (atara bumi dan langit), batang pisang sebagai bumi (tanah), dan lampu sebagai sinar matahari. Dalam dunia pewayangan pemrakarsanya disebut ”Ki Dalang”, walaupun umurnya masih remaja, sedangkan penata dan penabuh gamelan (musik) disebut niaga. Ki dalang memiliki makna seseorang yang mampu ngudal (telaah) piwulang (keilmuan) , yaitu mengungkap pengetahuan, kisah-kisah dalam andegan lakon (ceritera) wayang.
Sastra Dalam Pewayangan
Pemahaman makna sastra dalam dunia pewayangan pada dasarnya diawali dari penelusuran kaslian asal-usul ceritera wayang, dan proses penyebarannya. Asal-usul ceritera wayang telah diakuai berasal dari India, dan ditulis dalam bahasa sansekerta. Proses adaptasi penyebaran di Indonesia terutama di P. Jawa, naskah-naskah kebrahmanaan, disampaikan oleh para Brahmana , demikian halnya naskah-naskah disampaian oleh Kesatria , hanya menyampaikan hal-hal yang erat kaitannya dengan dunia perang.
Pada saat awal budaya wayang diimplementasikan masih mendekati pakem, karena hanya menerima dan melakukan. Namun demikian pada tahap-tahap berikutnya mulai mengalami perubahan-perubahan, dimana kisah-kisah wayang dapat digunakan sebagai alat untuk menganalisis situasi kekinian. Bagi para politikus, tokoh wayang diidentikan dengan tokohnya, sebagai alat propaganda. Bahkan ketika meng-islam -kan Jawa, Sunan Kudus menggunakan media pementasan wayang.
Dalam dunia sastra moderen Indonesia, perubahan-perubahan kisah wayang banyak dijumpai seperti yang ditulis oleh Sindhu Nata, Herman Pratikto, Seno Gumira Adjidarma, Danarto, Putu Wijaya (wayang Bali), Hermawan Aksan, dan Pitoyo Amrih. Inovasi perubahan dalam sastra dunia pewayangan adalah ceritera karangan seperti Antasena (anak Bima dengan Dewi Urang Ayu) yang pakem aslinya tidak ada, akan tetapi menjadi cukup menarik, karena mengungak ceritera bangsa samudera.
Perubahan secara spasial yang terjadi di Jawa, dikenalnya 3 gagrag (gaya) karena inovasi kedaerahan. Gagrag Mataraman, tumbuh dan berkembang di daerah Yogjakarta, gagrag Solo mendominansi di daerah Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur, sedangkan gagrag Banyumas, mendominansi di Jawa tengah bagian barat. Perbedaan gagrag tersebut dicirikan oleh spesifik implementasinya. Matraman dan Solo memang menunjukkan perbedaan yang cukup mendasar, sedangkan gagrag Banyumasan lebih mengadopsi dari dua kubu yang berbeda, dengan dibangunnya kreasi-kreasi baru.
Tumbuh berkembangnya waktu perubahan mendasar hingga saat sekarang telah merambah terhadap bentuk pakeliran, gaya campuran yang dipelopori oleh Ki Nartosabdo (Alm) sejak dekade tahun 1970-an. Pengaruh gaya campuran dalam dunia pewayangan, kini menjadi sulit bahkan langka untuk mendapatkan dalang sejati, dan yang melimpah adalah dalang wiguna yang mementingkan segi keramaian dan finansial.
Sebagaimana kisah-kisah di dalam Mitologi Yunani, kisah-kisah yang ada di dalam dunia pewayangan seakan tak habis-habisnya untuk diberi makna baru. Disana tersimpan

Bela Negara Dalam Pewayangan
Dalam dunia pewayangan, bela negara diartikan sebagai hak dan kewajiban bagi seluruh rakyat untuk mempertahankan keutuhan teritori wilayahnya. Kewajiban tersebut selain mempertahankan keutuhan wilayah (kerajaan, pertapan dan atau lainnya), juga kepatuhan rakyat terhadap sang penguasa (Raja) agar apa yang disabdakan menjadi panutan (pedoman) dan tuntunan (arahan) hidup. Secara visual bela negara dalam pewayangan diprakarsai oleh para punggawa (rakyat sebagai prajurit) dan kesatria (pembina). Semangat nasionalisme dalam dunia pewayangan, ditandai oleh barisan dengan tengara bendera perang, yang diikuti dengan arak-arakan prajurit dan rakyat untuk mempertahankan keutuhan wilayah, yang diiringi dengan ura-ura gending keprajuritan.
Tampaknya ilustrasi bela negara dalam pewayangan, juga dianut bukan saja oleh kerajaan, namun juga oleh pemerintah Indonesia.
(1). Secara kultural historis Astabrata dalam dunia pewayangan, ternyata disukai tidak hanya oleh dewa, tetapi juga oleh raja dan rakyatnya. Hal tersebut disebabkan oleh ajaran yang nyata-nyata menawarkan keluhuran budi pekerti.
Astabrata pertama kali masuk ke dalam budaya Jawa dianut dalam Kitab Ramayana Jawa Kuno, ditulis pada zaman Dyah Balitung, yaitu raja besar yang memerintah Jawa Tengah dan Jawa Timur pada abad ke IX masehi. Astabrata adalah ajaran dari raja dengan meneladani 8 dewa (Hyan indra, Yama, Surya, Candra, Asila, Kuwera, Baruna, dan Agni). Dalam abad ke XIV Astabrata juga dipergunakan sebagai acuan Sri Maharaja Rajasanagara (Hayam Wuruk) dalam memimpin kerajaan Majapahit yang didampingi oleh Patih Gajah Mada.
Perkembangan berikutnya, setelah mengalami alkulturisasi model Jawa, Astabrata mengalami transformasi budaya, yang tadinya berorientasi kedewaan, kini berubah dan berorientasi terhadap filsafat alam yaitu: hujan, matahari, bulan, angin, air, api, penghukum, dan kekayaan. Perkembangan tersebut tampaknya pengaruh Islam yang dibarengi dengan kemandirian budaya Jawa yang selalu ingin membebaskan diri dari keterikatan dan ketergantungan sistem nilai budaya dari luar.
(2). Walaupun tidak persis tatanannya bela negara dalam dunia pewayangan, juga dianut oleh Pemerintah Indonesia. Pembinaan Kesadaran Bela Negara, seperti tersirat dalam pasal 27 UUD 1945 dan pasal 9 UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, serta UU Nomor 30 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dari ketiga produk hukum tersebut, pada hakekatnya merupakan suatu upaya untuk membangun kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara, serta keikutannya dalam pembelaan terhadap teritori wilayah Nusantara dari Sabang hingga ke Meuroke. Kesadaran dimaksud selain membangun konsensus cinta terhadap tanah dan air, sadar berbangsa dan bernegara, yakin akan Pancasila dan UUD 1945 sebagai ideologi dan dasar negara, serta rela berkorban untuk bela negara mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia secara utuh.
Uraian Penutup
Pernyataan arif Sultan Agung ”Kuncaraning bangsa gumantung ana kaluhuring budaya” tampaknya sangat tepat, karena budaya menunjukkan identitas dan jatidiri bangsa. Untuk itulah ajakan pemerintah kepada setiap insan bangsa Indonesia untuk sadar dalam berbangsa dan bernegara, serta keikutsertaannya dalam bela negara bukan hal yang berlebihan, akan tetapi menjadi kewajiban yang harus diembannya. Hingga tidaklah mengherankan bahwa Seni budaya pewayangan sebagai salah satu seni budaya yang mencerminkan identitas dan jatidiri bangsa Indonesia kini yang telah diakui oleh UNESCO sebagai ”Masterpiese of Oral and Intangible Hefritage of Humanity ” dan tampaknya harus dipertahankan secara berkesinambungan.
Daftar Pustaka
Sarwono. S.W,. 2007. Wayang dan Perubahan Zaman. Diskusi dan Pagelaran Wayang Kulit Kolaborasi. Dalam Rangka Dies Natalis ke 57 Universitas Indonesia. Kampus Baru Depok.
Soepandji, B. S. 2007 Pemberdayaan Wayang Untuk Bela Negara. Diskusi dan Pagelaran Wayang Kulit Kolaborasi. Dalam Rangka Dies Natalis ke 57 Universitas Indonesia. Kampus Baru Depok.
Waryono, T. 2007. Perubahan Bentuk Pakeliran Wayang Kulit Dalam Era Milinium. Diskusi dan Pagelaran Wayang Kulit Kolaborasi. Dalam Rangka Dies Natalis ke 57 Universitas Indonesia. Kampus Baru Depok.
Aji., P.B. 2008. Anoman Duta. Seminar dan Pagelaran Wayang. Komunitas Wayang Universitas Indonesia. Kampus Baru Depok.
Mastuti. D.W.R,. 2008. Semangat Akulturasi Dalam Wayang Kulit Cina-Jawa. Seminar dan Pagelaran Wayang. Komunitas Wayang Universitas Indonesia. Kampus Baru Depok.
Magnis, F.S.SJ. 2008. Segi-segi Filsafat Wayang. Seminar dan Pagelaran Wayang. Komunitas Wayang Universitas Indonesia. Kampus Baru Depok.
Nugroho, Y. 2008. Wayang Kulit: Mata Air Ceritera. Seminar dan Pagelaran Wayang. Komunitas Wayang Universitas Indonesia. Kampus Baru Depok.
Pradipta. B,. 2008. Astabrata: Sebuah Model Manajemen Pemerintahan yang Ideal. Seminar dan Pagelaran Wayang. Komunitas Wayang Universitas Indonesia. Kampus Baru Depok.
Wahyana., P. 2008. Tokoh Perempuan dalam Pewayangan. Seminar dan Pagelaran Wayang. Komunitas Wayang Universitas Indonesia. Kampus Baru Depok.
Wiwaha. I. 2008. Kumbokarno Gugur. Seminar dan Pagelaran Wayang. Komunitas Wayang Universitas Indonesia. Kampus Baru Depok.
http://pepadijateng.com/article/86828/filosofi-dan-makna-wayang.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar