FALSAFAH KEJAWEN
Pewarisan kawruh Kejawen atau
falsafah Jawa dari generasi ke generasi berikutnya pada umumnya tidak disertai
bahasa yang rasional dan mudah dipahami. Maka, sebagai akibatnya, kawruh
Kejawen di masa kini banyak yang tidak dimengerti oleh orang Jawa sendiri.
Bahkan kemudian banyak yang menganggap kawruh Kejawen sebagai klenik. Anggapan
Kejawen sebagai tahayul atau klenik tersebut sudah pasti tidak nyaman dirasakan
bagi kebanyakan orang Jawa. Oleh karena itulah, diperlukan
penjelasan-penjelasan yang masuk akal tentang Kejawen guna menepis anggapan
minor tersebut.
Untuk itulah, diperlukan sebuah
usaha penjelasan sekaligus upaya menggugah kesadaran Jawa untuk kembali
memiliki kedaulatan spiritual hingga kembali berjaya dalam peradaban umat
manusia. Saatnya Jawa menyumbangkan cita-cita peradaban umat manusia yang ayem
tentrem kerta raharja.
Jelas bahwa kawruh Kejawen adalah
falsafah hidup orang Jawa. Merupakan sebuah kristalisasi pengalaman hidup orang
Jawa sejak zaman prasejarah hingga zaman globalisasi saat ini. Sebagian besar
merupakan hasil interaksi dan observasi orang Jawa dengan alam semesta di Pulau
Jawa. Sudah barang tentu ditambah hasil interaksi dengan falsafah dan
kebudayaan bangsa-bangsa lain yang berdatangan ke Jawa sejak ratusan tahun
lalu.
Dikarenakan sifat alam tanah Jawa
vulkanis subur, warga masyarakat semenjak dahulu hidup bercocok tanam. Cara
hidup agraris menjadi nuansa falsafah dan kebudayaan orang Jawa selalu selaras
dengan suasana agraris yang mengutamakan mencapai kondisi masyarakat yang laras,
ayem tentrem, dan rukun. Dengan demikian, tumbuh kembangnya naluri nalar dan
rasa pangrasa orang Jawa selalu memuat tujuan dan upaya mencapai situasi dan
kondisi masyarakat yang laras ayem tentrem kerta raharja dan rukun. Karena
memiliki dasar tujuan yang seperti itu, maka menjadikan orang Jawa memiliki
watak lower dan bisa menerima siapa saja sebagai saudara.
Karena memiliki toleransi yang
kuat, orang Jawa bisa menerima dengan baik masuknya falsafah dan kebudayaan
bangsa lain. Selanjutnya malah bisa membaur dengan rukun. Konon orang Jawa
pandai mensinergikan falsafah dan kebudayaan aslinya dengan semua falsafah dan
kebudayaan lain yang diterima. Kejawen merupakan tuntunan atau ajaran hidup
yang di dalamnya termasuk konsep kebertuhanan orang Jawa. Maka Kejawen juga
mencakup masalah hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia
dengan alam semesta seisinya yang khas orang Jawa. Sedemikian rumit dan luas
cakupan Kejawen sehingga pada masa kini masyarakat Jawa sendiri banyak yang
tidak memahami Kejawen itu sendiri. Bahwa teologi, mitologi, kepercayaan,
tradisi, dan adat Jawa adalah masuk akal sering diabaikan, dianggap yang
tidak-tidak. Oleh karena itulah, perlu pemahaman agar ada saling pengertian
antar komponen bangsa.
Apapun anggapan orang tentang
Kejawen, kenyataannya sejauh ini Kejawen sudah berhasil mengampu perjalanan
masyarakat Jawa sejak ribuan tahun yang lalu hingga kini. Maka Kejawen pasti
memiliki sisi positif. Buktinya Jawa merupakan salah satu bagian bumi yang
padat penduduknya. Posisi Jawa untuk Indonesia sangat penting. Pulau Jawa yang
luasnya cuma 6 persen luas daratan Indonesia, namun menampung 60 persen
penduduk Indonesia. Dengan demikian, jelas bisa dibuktikan bahwa situasi dan
kondisi di Jawa sangat nyaman bagi umat manusia untuk berkembang biak dan
bermukim.
Kenyamanan itu salah satu
penyebabnya adalah sistem kemasyarakatan Jawa yang beradab serta tidak senang
konflik. Sistem kemasyarakatan sudah pasti terbangun oleh adanya falsafah hidup
masyarakat yang tidak lain kawruh Kejawen. Begitu rupa beradab dan berbudayanya
Jawa sehingga di pulau ini ada peninggalan tempat melaksanakan ritual agama
seperti Borobudur yang megah dan Candi Prambanan yang anggun. Indah dan populis
Begitu kayanya ragam budaya Jawa
yang merupakan hasil kreativitas masyarakat Jawa. Keragaman tersebut juga atas
pengaruh kebudayaan pendatang sehingga tidak mudah menelusuri dan memilah serta
memilih untuk menemukan yang asli Jawa. Namun begitu, masih bisa dikenali
mengapa Jawa bisa menjadi media subur untuk tumbuh kembangnya agama-agama besar
di dunia.
Meskipun cakupan falsafah Jawa
atau kawruh Kejawen sedemikian luas meliputi seluruh aspek kehidupan, ada
beberapa pokok pandangan Jawa yang bisa dijadikan wacana dialog peradaban dan
budaya. Pandangan atau konsep dasar falsafah Jawa meliputi adanya Tuhan, jagat
raya, asal-usul manusia, mitologi Jawa, tata peradaban dan laku budaya, tata
penanggalan dan basa atau carakan Jawa. Berpijak pada konsep Jawa tersebut maka
bisa dipaparkan sumbangan pemahaman dan pandangan atau paradigma baru tentang
wawasan kebangsaan kita. Bahkan, besar kemungkinan untuk menopang tegaknya
peradaban Nusantara di mata dunia.
Bahwa sampai saat ini peradaban
dan budaya Bali telah mampu menundukkan hati nurani umat manusia seluruh dunia,
maka Jawa yang memiliki akar peradaban dan budaya yang sama dengan Bali pasti
mampu pula menundukkan hati nurani dunia. Kalau Bali diakui sebagai Pulau
Dewata, maka meminjam istilah Prof Dr Damarjati, Jawa bisa jadi Tamansarinya
dunia
Dalam literatur dan kaidah kebudayaan
Jawa tidak ditemukan adanya pakem dalam kalimah doa serta tata cara baku
menyembah Tuhan. Dalam budaya Jawa dipahami bahwa Tuhan Maha Universal dan
kekuasaanNya tiada terbatas. Kejawen bukanlah agama, dalam falsafah kejawen
yang ada hanyalah wujud “laku spiritual” dalam tataran batiniahnya, dan “laku
ritual” dalam tataran lahiriahnya. Laku ritual merupakan simbolisasi dan
kristalisasi dari laku spiritual. Ambil contoh misalnya mantra, sesaji, laku
sesirih (menghindari laku pantangan) serta laku semedi atau meditasi. Banyak
kalangan yang tidak memahami asal usul dan makna dari semua itu, lantas begitu
saja timbul suatu asumsi bahwa mantra sama halnya dengan doa. Sedangkan sesaji,
laku sesirih dan laku semedi dipersepsikan sama maknanya dengan ritual
menyembah Tuhan. Asumsi dan persepsi ini salah besar. Menurut para pengamat,
kaum akademisi dan budayawan, ada suatu unsur kesengajaan untuk mempersepsikan
dan mengasumsikan secara tidak tepat dan melenceng dari makna yang
sesungguhnya. Semoga hal itu bukan termasuk upaya politisasi sistem
kepercayaan, untuk mendestruksi budaya Jawa yang sudah “mbalung sungsum” di
kalangan suku Jawa, dengan harapan supaya terjadi loncatan paradigma kearifan
lokal kepada paradigma asing yang secara naratif menjamin surga. Awal dari
penggeseran dilakukan oleh bangsa asing yang akan menjalankan praktik
imperialisme dan kolonialisme di bumi nusantara sejak ratusan tahun silam.
Baiklah, terlepas dari semua anggapan, asumsi maupun persepsi di atas ada
baiknya dikemukakan wacana yang mampu mengembalikan persepsi dan asumsi
terhadap ajaran kejawen sebagaimana makna yang sesungguhnya. Setidaknya,
kejawen dapat menjadi monumen sejarah yang akan dikenang dan dikenal oleh
generasi penerus bangsa ini. Agar menumbuhkan semangat berkarya dan
nasionalisme di kalangan generasi muda. Di samping itu ada kebanggaan
tersendiri, sekalipun zaman sekarang dianggap remeh namun setidaknya nenek
moyang bangsa Indonesia pernah membuktikan kemampuan menghasilkan karya-karya
agung bernilai tinggi.
MELURUSKAN MAKNA
Mantra tidaklah sama maknanya
dengan doa. Bila doa merupakan permohonan kepada Tuhan YME, sedangkan mantra
itu umpama menarik picu senapan yang bernama daya hidup. Daya hidup manusia
pemberian Tuhan Yang Mahakuasa. Pemberian sesaji, laku sesirih (mencegah) dan
laku semedi memiliki makna tatacara memberdayakan daya hidup agar dapat
menjalankan kehidupan yang benar, baik dan tepat. Yakni menjalankan hidup
dengan mengikuti kaidah “memayu hayuning bawana”. Daya kehidupan manusia
menjadi faktor adanya aura magis (gelombang elektromagnetik) yang melingkupi
badan manusia. Aura magis memiliki sifatnya masing-masing karena perbedaan
esensi dari unsur-unsur yang membangun menjadi jasad manusia. Unsur-unsur
tersebut berasal dari bumi, langit, cahya dan teja yang keadaannya selalu
dinamis sepanjang masa. Untuk menjabarkan hubungan antara sifat-sifat dan
esensi dari unsur-unsur jasad tersebut lahirlah ilmu Jawa yang bertujuan untuk
menandai perbedaan aura magis berdasarkan weton dan wuku.
Aura magis dalam diri manusia
dengan aura alam semesta terdapat kaitan erat. Yakni gelombang energi yang
saling mempengaruhi secara kosmis-magis. Dinamika energi yang saling
mempengaruhi mempunyai dua kemungkinan yakni pertama; bersifat saling berkaitan
secara kohesif dan menyatu (sinergi) dalam wadah keharmonisan, kedua; energi
yang saling tolak-menolak (adesif). Laku sesirih (meredam segala nafsu) dan
semedi (olah batin) merupakan sebuah upaya harmonisasi dengan cara
mensinergikan aura magis mikrokosmos dalam kehidupan manusia (inner world)
dengan aurora alam semesta makrokosmos (lihat juga dalam posting “Sejatinya
Guru Sejati”). Agar tercipta suatu hubungan transenden yang harmonis dalam
dimensi vertikal (pancer) antara manusia dengan Tuhan dan hubungan horisontal
yakni manusia sebagai jagad kecil dengan jagad besar alam semesta.
PRINSIP KESEIMBANGAN, KESELARASAN
& HARMONISASI
Sesaji atau sajen jika dipandang
dari perspektif agama Abrahamisme, kadang dianggap berkonotasi negatif, sebagai
biang kemusyrikan (penyekutuan Tuhan). Tapi benarkah manusia menyekutukan dan
menduakan Tuhan melalui upacara sesaji ini ? Seyogyanya jangan lah terjebak
oleh keterbatasan akal-budi dan nafsu golek menange dewe (cari menangnya
sendiri) dan golek benere dewe (cari benernya sendiri). Maksud sesaji
sebenarnya merupakan suatu upaya harmonisasi, melalui jalan spiritual yang
kreatif untuk menselaraskan dan menghubungkan antara daya aura magis manusia,
dengan seluruh ciptaan Tuhan yang saling berdampingan di dunia ini, khususnya
kekuatan alam maupun makhluk gaib. Dengan kata lain sesaji merupakan
harmonisasi manusia dalam dimensi horisontal terhadap sesama makhluk ciptaan
Tuhan. Harmonisasi diartikan sebagai kesadaran manusia. Sekalipun manusia
dianggap (menganggap diri) sebagai makhluk paling mulia, namun tidak ada alasan
untuk mentang-mentang merasa diri paling mulia di antara makhluk lainnya.
Karena kemuliaan manusia tergantung dari cara memanfaatkan akal-budi dalam diri
kita sendiri. Bila akal-budi digunakan untuk kejahatan, maka kemuliaan manusia
menjadi bangkrut, masih lebih hina sekalipun dibanding dengan binatang paling
hina.
HARMONI & KESELARASAN
MERUPAKAN WAHYU TUHAN
Dalam konteks kebudayaan Jawa,
wahyu diartikan sebagai sebuah konsep yang mengandung pengertian suatu karunia
Tuhan yang diperoleh manusia secara gaib. Wahyu juga tidak dapat dicari, tetapi
hanya diberikan oleh Tuhan, sedangkan manusia hanya dapat melakukan upaya
dengan melakukan mesu raga dan mesu jiwa dengan jalan tirakat, bersemadi,
bertapa, maladihening, dan berbagai jalan lain yang berkonotasi melakukan laku
batin. Tapi tidak setiap kegiatan laku batin itu akan mendapatkan wahyu, selain
atas kehendak atau anugrah Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan wahyu menurut kamus
Purwadarminta mempunyai pengertian suatu petunjuk Tuhan atau ajaran Tuhan yang
perwujudannya bisa dalam bentuk mimpi, ilham dan sebagainya. Dalam konteks
budaya Jawa, wahyu dipandang sebagai anugrah Tuhan yang sekaligus membuktikan
bahwa Tuhan bersifat universal, Mahaluas tanpa batas, dan Tuhan yang Mahakasih
tidak akan melakukan pilih kasih dalam menorehkan wahyu bagi siapa saja yang
Tuhan kehendaki. Falsafah Jawa memandang suatu makna terdalam dari sifat
hakekat Tuhan yang Maha Adil, yang memiliki konsekuensi bahwa wahyu bukanlah
hak atau monopoli suku, ras, golongan, atau bangsa tertentu.
Mekanisme kehidupan di alam
semesta adalah bersifat dinamis. Dinamika kehidupan berada dalam pola hubungan
yang mengikuti prinsip-prinsip keharmonisan, keseimbangan, atau keselarasan
(sinergi) jagad raya seisinya. Dinamika dan pola hubungan demikian sudah
menjadi hukum atau rumus Tuhan Yang Maha Memelihara sebagai ANUGRAH terindah
kepada semua wujud ciptaanNYA, baik yang bernyawa maupun yang tidak bernyawa.
WAHYU PURBA
Anugrah tersebut dalam
terminologi Kejawen dikenal istilah Wahyu Purba. Kata Purba, menurut kamus
Purwadarminta mempunyai arti memelihara. Wahyu Purba mempunyai pengertian, Dewa
Wisnu atau sama hakekatnya dengan kebenaran Illahiah, adalah bersifat
memelihara. Ini suatu pelajaran hidup yang mengandung “rumus Tuhan” bahwa di
dalam kehidupan alam semesta dengan segala isinya termasuk juga manusia, semua
dipelihara oleh kebenaran sejati, yakni kebenaran Illahi. Di mana kehidupan
alam semesta dan manusia akan mengalami keselarasan, keselamatan, ketenteraman,
kebahagiaan dan kesejahteraan apabila nilai kebenaran bisa dihayati dan
ditegakkan dengan baik dan benar.
Walaupun manusia percaya bahwa
hidup ini dipelihara oleh kebenaran Illahi atau kebenaran Tuhan, masih juga
terdapat ketidakbenaran dan kejahatan yang dapat menimbulkan kekacauan dan
mengganggu keselarasan, kebahagiaan, ketentraman dan kesejahteraan. Semua itu
terjadi sebagai akibat “kenekadan” manusia melakukan pelanggaran hukum
kebenaran. Untuk memelihara ketenteraman dan kesejahteraan dunia maka dewa
Wisnu turun ke dunia menitis pada Prabu Arjunawijaya (Arjunasasrabahu) raja
Negara Maespati, dan kepada Ramawijaya, raja Negara Ayodya.
WAHYU DYATMIKA
Barang siapa yang berhasil
membangun harmonisasi dan sinergi atau keselarasan energi antara “jagad kecil”
yang ada di dalam diri pribadi (inner world) dengan “jagad raya” disebut
sebagai orang yang sudah memperoleh wahyu dyatmika. Dyatmika berarti batin, atau
hati, wahyu dyatmika artinya wahyu Tuhan yang diterima seseorang untuk memiliki
daya linuwih meliputi daya cipta, daya rasa, dan daya karsa yang disebut
sebagai prana. Prana dalam terminologi Jawa berbeda dengan perguruan tenaga
prana sebagaimana dikenal masyarakat sebagai seni bela diri dan olah tenaga
dalam.
HUBUNGAN MANTRA DENGAN PRINSIP
KESELARASAN
Mantra adalah Teknologi Kuno
Perlu kami tegaskan lagi bahwa
mantra BUKANLAH DOA, akan tetapi merupakan sejenis SENJATA atau ALAT berujud
kata-kata atau kalimat sebagai “teknologi spiritual” tingkat tinggi hasil karya
leluhur nusantara di masa silam. Mantra dibuat melalui tahapan spiritual yang
tidak mudah, bentuknya laku prihatin, perilaku utama dan maneges kepada Tuhan,
yang ditempuh dengan cara tidak ringan. Hasilnya beragam, secara garis besar
ada dua jenis mantra (baca; senjata) yakni;
1. Khusus menurut fungsinya;
hanya dapat digunakan untuk keperluan tertentu misalnya menaklukkan musuh di
medan perang. Atau diperuntukkan sebagai alat “medis” sebagai mantra untuk
penyembuhan.
2. Mantra khusus menurut
sifatnya; dibagi dua; pertama, mantra yang hanya dapat BEKERJA jika digunakan
untuk hal-hal sifatnya baik saja. Mantra jenis ini tidak dapat disalahgunakan
untuk hal-hal buruk oleh si pemakai. Mantra jenis ini paling sering digunakan
di lingkungan kraton sebagai salah satu tradisi turun temurun. Kedua; mantra
yang bersifat umum, bebas digunakan untuk acara dan keperluan apa saja
tergantung kemauan si pemakai. Ibarat pisau dapat digunakan sebagai alat bedah operasi,
alat memasak, atau disalahgunakan untuk mencelakai orang. Namun mantra jenis
ini setiap penyalahgunaannya pasti memiliki konsekuensi yang berat berupa karma
atau hukuman Tuhan yang dirasakan langsung maupun kelak setelah ajal.
Citra Buruk Karena Pemahaman Yang
Salah Kaprah
Terdapat pula kesalahan memaknai
mantra secara simpang siur; di mana mantra dianggap sebagai hal yang selalu
berhubungan dengan setan/makhluk halus dan bersifat negatif/hitam. Misalnya
lafald komat-kamit yang diucapkan seorang dukun santet, itu bukanlah sejenis
mantra, namun password atau kata kunci, atau kode isyarat berupa kata-kata
untuk memanggil sekutunya yakni sejenis jin, “setan” atau makhluk gaib sebagai
pesuruh agar mencelakai korbannya. Perlu saya luruskan bahwa yang demikian ini,
bukan termasuk mantra. Lalu apakah substansi dari mantra itu sendiri ? Baiklah,
berikut ini kami berusaha mendeskripsikan kronologi dan proses bagaimana mantra
(teknologi kuno) dapat diciptakan oleh manusia zaman dulu yang banyak dicap
menganut faham religi primitif.
Hamemayu Hayuning Bawono &
RAT, serta Pangruwating Diyu
Di atas telah kami singgung
sedikit mengenai PRANA, sebagai sinergisme dan harmonisasi energi
vertikal-horisontal, mikro-makro kosmos, inner wolrd dengan alam semesta, jagad
kecil dengan jagad besar. Mantra merupakan salah satu bentuk pendayagunaan
prana. Khusus untuk mantra umum, agar supaya siapapun yang memanfaatkan mantra
umum tidak menyalahgunakannya untuk hal-hal yang negatif, ajaran Jawa
menekankan keharusan eling dan waspada. Sikap eling dan waspada akan memelihara
seseorang dalam mendayagunakan prana yang berwujud mantra yang dimanfaatkan
untuk kebaikan hidup bersama menggapai ketentraman dan kesejahteraan. Yang
paling utama bilamana semua jenis mantra ditujukan sebagai upaya untuk
keselarasan dan harmonisasi alam semesta dalam dimensi horisontal dan vertikal
dengan Yang Transenden. Mantra adalah salah satu bentuk pencapaian dalam
pergumulan laku spiritual “Sastra Jendra” sedangkan tujuannya yang mulia
menjadi makna di balik “Hamemayu hayuning Rat, hamemayu hayuning bawono, lan
pangruwating diyu” (lihat posting; “Puncak Ilmu Kejawen”). Menjadi satu kalimat
dalam falsafah Jawa tingkat tinggi yakni “Sastra jendra, hayuning Rat,
pangruwating diyu”. Yang tidak lain untuk menyebut pencapaian spiritual dalam
konteks kemanunggalan diri dengan alam semesta (Hamemayu hayuning Bawono).
Dalam rangka panembahan pribadi dimanifestasikan budi pekerti luhur (Hangawula
kawulaning Gusti/Pangruwating diyu), keduanya BERPANGKAL dan BERUJUNG pada
panembahan kepada Tuhan Yang Maha Tunggal (Hamemayu hayuning Rat). Dengan kata
lain budi pekerti membangun dua dimensi jagad, yakni; jagad kecil (pribadi) dan
jagad besar manembah kepada Tuhan YME.
Bentuk panembahan dalam pada
tingkat tata lahir (sembah raga/syariat) dimanifestasikan dalam berbagai
kearifan budaya yang menampilkan berbagai keindahan tradisi misalnya; upacara
ruwat bumi seperti garebeg, suran, nyadranan, apitan dan sebagainya. Atau
berbagai upacara kidungan, ritual gamelan, bedhaya ketawang, dan seterusnya.
Intinya adalah rasa kebersamaan dalam manembah pada tingkat tata batin (sembah
jiwa), menyatukan kekuatan hidup atau prana kehidupan untuk mewujudkan
mantra-agung (mahamantra) yakni sastra jendra yang berfungsi membangun
keseimbangan (balancing) dan keselarasan (harmonic) antara aura spiritual
manunsia dengan aura spiritual jagad raya seisinya. Tujuan utama dari balancing
dan harmonic jelas sekali jauh dari tuduhan subyektif musrik maupun bid’ah,
jelas ia sebagai bentuk konkritisasi doa untuk mohon keselamatan bagi alam
semesta dan seluruh isinya.
Sayang sekali, zaman semakin
berubah, perilaku budi daya yang memiliki nilai kearifan (wisdom) yang tinggi,
telah banyak ditinggalkan orang Jawa sendiri. Alasannya demi mikul duwur
mendhem jero falsafah dan budaya asing. Atau takut oleh tuduhan-tuduhan
subyektif, yang hanya berdasar prasangka buruk (su’udhon), dan tidak
berdasarkan metode ilmiah maupun informasi lengkap dan jelas. Sebuah nasib yang
tragis ! Tradisi yang masih dapat dijalankan pun akhirnya hilang nilai
kesakralannya. Grebeg, suran, sadranan, apitan telah melenceng dari nilai luhur
yang sesungguhnya yakni menyatukan prana kehidupan. Sebaliknya tradisi tersebut
hanya sekedar menjadi tontonan murahan, menjadi kebiasaan yang diulang-ulang
(custom), pemerintah melestarikan tardisi hanya karena bermotif materialistis
laku dijual, dan menjadi daya tarik turis asing karena mungkin dianggap aneh
dan lucu saja. Seaneh dan selucu cara bangsa ini memandang dan memahaminya.
Itulah, wujud “sejati” wong Jawa
kang kajawan (ilang jawane), rib-iriban. Manusia telah menjadi seteru Tuhan,
karena telah melanggar rumus (hukum) kodratulah, yakni harmonisasi dan
keseimbangan alam semesta. Rusaknya prinsip keseimbangan alam semesta berakibat
fatal dan kini dapat kita rasakan dan saksikan sendiri; hujan salah musim,
jadwal musim kemarau-penghujan tidak disiplin, kekeringan, kebakaran, banjir,
tanah longsor, elevasi suhu bumi, distorsi cuaca, hutan gundul, sungai banyak
kering, satwa liar semakin langka dan mengalami kepunahan. Distorsi musim
mengakibatkan gagal panen, hama tanaman, wabah penyakit aneh-aneh (pagebluk),
serangan hawa panas dan hawa dingin secara ekstrim (el-nino & la-nina).
Sumber : Sabdalangit.wordpress
Tidak ada komentar:
Posting Komentar